Jumat, 21 Mei 2010

Perjanjian Di Daerah Perbatasan

Dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Daerah perbatasan adalah daerah batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan daerah batas wilayah negara tetangga yang disepakati bersama berdasarkan perjanjian lintas batas (crossing border agreement) antara Pemerintah Republik Indonesia Indonesia dan negara tetangga, berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Secara teoritis, perbatasan memiliki fungsi yang sangat krusial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setidaknya terdapat 5 (lima) fungsi perbatasan negara: pertama sebagai garis pertahanan suatu negara; kedua sebagai pelindung kegiatan ekonomi dalam wilayah; ketiga fungsi hukum; empat batas wilayah kekuasaan negara, dan kelima, sebagai aspek kepentingan suatu negara. Batas negara pada dasarnya merupakan garda terdepan dalam hubungan dengan luar negeri atau dunia internasional. Untuk itu, dikenal konsep daerah frontier dan boundary. Frontier merupakan wilayah yang berada di depan, sedangkan boundary mengandung makna garis batas, yang tegas.

Indonesia sebagai Negara kepulauan (Archi- pelagic State) sesuai dengan United Nations Conventions on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 pasal 46A dan 46B dengan jumlah pulau (17.499 pulau) serta mempunyai garis pantai sepanjang 80.250 km sangat rentan atau rawan akan timbulnya konflik/perselisihan dengan negara tetangga, terutama menyangkut wilayah negara (batas negara/boundary) khususnya di lautan. Negara kita memiliki wilayah perbatasan laut dengan 10 negara yaitu Malaysia, Singapura, Australia, Timor Leste, Philiphina, Thailand, Vietnam, India, Papua Nugini dan Palau. Daerah perbatasan terluas bagi wilayah Indnesia adalah di lautan, sehingga membutuhkan titik dasar (base point) sebagai awal proses pengukuran batas wilayah. Titik dasar digunakan untuk menentukan luas wilayah laut terirorial, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen. Walaupun sampai sekarang belum tampak adanya konflik senjata yang nyata dengan negara-negara tetangga, tetapi sebenarnya sudah ada benihbenih yang bisa menjadi pemicu konflik permasalahan ke depan. Benih tersebut yaitu belum adanya perjanjian perbatasan wilayah negara yang jelas dengan Negara-negara tetangga tersebut terutama di laut.

UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah hanya mengatur secara umum fungsi pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan daerah, namun tidak menyentuh point-point yang eksplisit untuk kewenangan dan mekanisme pengelolaan perbatasan negara, baik darat, laut, maupun udara. UU No 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) hanya mengatur peran-peran operasional TNI sebagai kekuatan pertahanan, bukan pada aspek policy kebijakan pertahanan, apalagi penanganan wilayah perbatasan. Demikian pula UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mengatur rancangan kerja dan pengembangan yang masih berorientasi pada wilayah non perbatasan dan terfokus pada daratan.

Daerah/wilayah perbatasan rawan konflik antara lain yaitu sekitar pulau Rondo yaitu belum ditetapkan batas ZEE antara Indonesia dan India, Pulau Berhala (masih tumpang tindih batas perairan dengan Malaysia). Masalah perbatasan dengan Malaysia selain di pulau Berhala juga ada di sebelah utara Selat Malaka, Selat Singapura dan Laut Cina Selatan, Pulau Nipa (penentuan titik koordinat batas perairan Indonesia dan Singapura ini dilakukan sebelum dilangsungkan Konferensi Hukum Laut 1982, Kepulauan Natuna belum adanya penentuan batas ZEE dengan Vietnam, Pulau Miangas, Marore, Marampit belum adanya titik temu dalam batas laut dengan Philiphina karena menggunakan rezim hukum yang berbeda antara Indonesia dan Philiphina, Pulau Fani, Fanildo dan Brass masih terganjal tentang ZEE dengan negara Palau, Pulau Batek, Alor, Liran, Romang, Kisar, Tanjung Tut Puteh belum adanya titik temu pembahasan masalah batas laut dengan Timor-Timur sejak Timor-Timur, Pulau Dana belum adanya penentuan batas wilayah laut dengan Australia semenjak lepasnya Timor-Timur terpisah dari Indonesia.
Belum adanya perjanjian batas laut yang jelas ini sering menimbulkan permasalahan sebagai contoh pulau Sipadan dan Ligitan walaupun kita punya data-data kepemilikan pulau secara historis akhirnya di vonis kalah oleh PBB (Mahkamah Internasional) pada tahun 2002 sehingga pulau tersebut menjadi wilayah Malaysia dan yang terakhir baru-baru ini kasus blok Ambalat mencuat. Hal ini semua akibat belum ada perjanjian tentang batas wilayah ke-daulatan Negara.

Kasus lepasnya Sipadan dan Ligitan serta men-cuatnya blok Ambalat harus menjadi bahan pelajaran sekaligus sebagai pemicu bangsa Indonesia untuk lebih sangat memperhatikan daerah-daerah perbatasan khususnya pulau-pulau kecil yang terluar menurut data kurang lebih ada 8.168 pulau yang belum bernama. Pulau-pulau kecil terluar merupakan dasar (base point) untuk menarik garis-garis kedaulatan Negara dilautan baik untuk laut territorial maupun ZEE (Zone Ekonomi Ekslusif).

Untuk itu dalam mengatasi daerah-daerah per-batasan pemerintah harus punya konsep yang jelas dan terintegral setiap aspek, tidak hanya dengan pendekatan keamanan (security) saja. Konsepnya yaitu harus menghilangkan pandangan bahwa dae-rah perbatasan adalah daerah hinterland (daerah belakang), untuk itu perlu mengubah dengan pan-dangan bahwa daerah perbatasan merupakan be-randa depan atau pintu gerbang (gate). Mungkin kekeliruan kita selama ini, banyak yang memandang daerah atau wilayah perbatasan yang biasa disebut boundary sebagai hinterland (daerah belakang). Sebagai hinterland biasanya kurang perhatian/tidak terurus terutama dari segi pembangunan jika diban-dingkan dengan wilayah depan atau (pusat) khususnya menyangkut pembangunan ekonomi, perta-hanan dan keamanan.
Hal ini tampak dari kurangnya sarana, prasarana dan fasilitas baik penunjang kegiatan ekonomi maupun hankam. Padahal secara fungsi esensinya daerah perbatasan harus bisa mampu menjadi benteng negara atau perisai negara dari pihak luar baik dari serangan ekonomi, sosial maupun militer. Sehingga sangatlah wajar apabila munculnya benih-benih disintegrasi bangsa yang mempunyai wilayah luas muncul dari wilayah-wilayah perbatasan (boundary). Hal ini karena diwilayah boundary ini ada daerah frontier yang mana mayoritas penduduknya sudah terpengaruh negara tetangga (seberang boundary) apabila diadakan semacam referendum apakah masih memilih negara sendiri atau negara tetangga, mayoritas akan memilih negara tetangga, karena ketergantungan ekonominya (kesejahteraannya) dari negara tetangga. Sehingga dapat diambil kesimpulan faktor kesejahteraanlah yang menentukan muncul tidaknya frontier di suatu wilayah negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar